Luwu Timur — Forum Pemuda dan Mahasiswa Luwu Timur (FOPMA-LUTIM) melayangkan protes keras kepada PT. Prima Utama Lestari (PT. PUL) atas penggunaan jalan provinsi sebagai jalur angkutan tambang. Aktivitas tersebut diduga melanggar peraturan, merusak infrastruktur, dan mencemari lingkungan, (15/8/25).
Koordinator FOPMA-LUTIM, Paslan Ali az-Zahra, mengatakan penggunaan jalan provinsi oleh kendaraan tambang berat sangat merugikan masyarakat.
“Kami sangat menolak keras aktivitas tambang PT. PUL yang menggunakan jalan provinsi. Jalan itu adalah fasilitas umum untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kendaraan tambang yang merusak dan membahayakan. Aktivitas ini bukan hanya merusak fasilitas umum, tetapi juga mencemari lingkungan dengan debu, tumpahan material, dan polusi udara yang mengancam kesehatan warga,” ujarnya.
Rihal, selaku Wakil Koordinator FOPMA-LUTIM, menilai aktivitas angkutan tambang di jalan provinsi juga membahayakan pengguna jalan lain.
“Truk tambang dengan muatan besar terus melintas di jalur yang sama dengan pengendara. Ini jelas mengundang bahaya. Pemerintah tidak boleh menunggu jatuhnya korban baru bertindak, karena keselamatan masyarakat jauh lebih penting daripada keuntungan pemrakarsa,” tegas Rihal.
Rihal menjelaskan, sesuai UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya pasal 91, maka pemilik IUP dan IUPK wajib menggunakan jalan tambang dalam aktivitas usaha mereka.
Desakan ini juga datang dari Sekretaris Koordinator FOPMA-LUTIM, Iksar, menyoroti pencemaran lingkungan yang terjadi akibat aktivitas tersebut.
"Debu dan polusi dari kendaraan tambang bertebaran di sepanjang jalan yang dilalui. Kondisi ini membuat jarak pandang terganggu dan membahayakan pengguna jalan lain, terutama pengendara roda dua,” jelas Iksar.
FOPMA-LUTIM menuntut PT. PUL segera menghentikan penggunaan jalan provinsi dan membangun jalur tambang khusus. Mereka juga mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum melakukan penindakan tegas, termasuk evaluasi izin usaha, pemulihan lingkungan, sera transparansi dokumen AMDAL, mengingat dokumen AMDAL merupakan kontrak sosial yang harus diketahui oleh masyarakat yang terdampak akibat aktivitas pertambangan.
"Kami minta pemerintah tegas. Jika aturan dilanggar, izinnya harus dievaluasi bahkan dicabut,” tutup Paslan.