Cari

Makassar Butuh Lebih Banyak Hijau, Bukan Lebih Banyak Beton

MAKASSAR — Tidak banyak yang menyadari bahwa perjuangan menyelamatkan kota dari krisis ekologis tidak selalu harus dimulai dari kebijakan besar berskala nasional.

Langkah nyata itu justru sering kali lahir dari ruang-ruang dialog kecil di tengah masyarakat, seperti forum Sosialisasi Peraturan Daerah yang digelar oleh Zulhajar, S.Ip., M.A, anggota DPRD Kota Makassar. Kamis, 10 Juli 2025.

Dalam kapasitasnya sebagai legislator, Zulhajar menyosialisasikan Perda No. 3 Tahun 2014 tentang Penataan dan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)—sebuah langkah yang penting namun kerap terabaikan dalam dinamika pembangunan kota.

Diskusi ini bukan basa-basi birokratis. Justru sebaliknya, ini adalah panggilan keras bagi pemerintah dan warga Makassar untuk meninjau ulang arah pembangunan kota: apakah kita sedang membangun kota untuk manusia atau sekadar menciptakan lanskap beton yang mencekik?

Masri Tajuddin, S.Sos., M.Si yang berbicara dalam forum tersebut, mengingatkan fakta keras bahwa Makassar baru mencapai 12,46% dari target 30% RTH yang diamanahkan Undang-Undang. Artinya, perjuangan masih jauh. Dari target itu, 20% harus RTH publik dan 10% RTH privat.

Persentase yang belum tercapai bukan sekadar angka di kertas, melainkan indikator kegagalan kolektif dalam menjamin hak dasar masyarakat atas udara bersih, ruang bermain anak, dan ekosistem kota yang seimbang.

Isu ini seharusnya menjadi komoditas politik prioritas, bukan sekadar urusan teknis Dinas Pertamanan. Sayangnya, kebijakan RTH sering dikorbankan di meja perencanaan demi proyek-proyek mercusuar yang lebih “fotogenik” dalam poster kampanye.

Dr. Andi Alim, SE., SKM., M.Kes dengan tegas mendorong partisipasi publik agar lebih proaktif dalam menciptakan ruang hijau, mulai dari taman di halaman rumah, taman vertikal, hingga lorong garden.

Gagasannya tampak sederhana, namun memiliki kekuatan strategis dalam membangun kesadaran kolektif. Ia menyampaikan pesan penting: pelestarian lingkungan tidak harus menunggu intervensi anggaran pemerintah, melainkan bisa dimulai dari inisiatif warga—dari rumah, pekarangan, hingga lorong-lorong pemukiman.

Bagi politisi yang visioner, inisiatif akar rumput semacam ini bukan hanya gerakan ekologis, tetapi juga peluang membangun basis elektoral yang kuat melalui pendekatan partisipatif dan inklusif.
Selain pernyataan dua narasumber sebelumnya, Tomy Satria Yulianto, S.Ip., mantan Wakil Bupati Bulukumba, menyampaikan kritik tajam terhadap paradigma pembangunan yang masih dominan hingga hari ini—yakni anggapan bahwa semakin banyak beton, semakin sukses sebuah pemerintahan.

Ia menegaskan bahwa menilai keberhasilan pemimpin dari banyaknya gedung pencakar langit dan jalan yang dibeton adalah kekeliruan berpikir yang perlu segera ditinggalkan.

Pernyataan ini, jika ditelaah lebih dalam, merupakan sindiran halus namun kuat terhadap para elite politik dan birokrat yang masih memandang lahan hijau hanya sebagai ruang kosong yang menunggu untuk dieksploitasi, bukan sebagai elemen penting dalam menjaga keberlanjutan kota.

Dalam konteks inilah, Tomy mengingatkan bahwa pembangunan yang sejati bukan sekadar tentang perluasan fisik kota, melainkan tentang visi jangka panjang yang berpihak pada lingkungan dan generasi masa depan.Inilah akar masalahnya: kita membiarkan persepsi keliru ini berkembang tanpa perlawanan. Padahal, RTH adalah investasi untuk masa depan kota, bukan beban APBD.

Tanpa ruang terbuka, kota tidak hanya kehilangan keindahan, tapi juga kehilangan fungsinya sebagai tempat hidup yang layak.
Forum Sosper ini bukan sekadar perbandingan estetika tata ruang.

Ini adalah tantangan ideologis. Apakah kita akan terus menjadikan pembangunan sebagai deretan bangunan, atau sebagai ruang hidup yang manusiawi? Apakah politisi kita cukup berani menjadikan isu lingkungan sebagai prioritas nyata, bukan sekadar pelengkap program? Hal ini mengingatkan kita bahwa pohon-pohon hari ini adalah perlindungan untuk anak cucu dimasa yang akan datang.

Dan siapa pun yang memperjuangkan ruang hijau hari ini bukan hanya sedang menanam tanaman, tapi juga sedang menanam kepercayaan rakyat. Karena satu hal yang pasti:

Makassar tidak kekurangan gedung, yang kurang adalah nafas. Dan nafas itu datang dari ruang terbuka hijau yang kita rawat hari ini—atau kita sesali di masa depan.

Terkait: