Tana Toraja - Sumpah Pemuda, yang terjadi pada tahun 1928, merupakan sebuah monumentum sejarah yang melampaui sekadar ikrar. Ia adalah manifestasi puncak dari semangat juang dan persatuan visioner pemuda yang gagah berani mengambil sikap tegas dan eksplisit melawan cengkeraman kolonialisme.
Ikrar ini bukan hanya deklarasi linguistik atau batas geografis; lebih dari pada itu, ia adalah proklamasi keberpihakan ideologis yang fundamental, sebuah janji suci pada cita-cita ke-Indonesiaan, kedaulatan, dan pembentukan bangsa yang satu.
Ironisnya, dalam konteks Indonesia modern yang penuh dinamika, esensi keberanian untuk berpihak dan mengambil sikap politik yang jelas ini, seringkali mengalami reduksi makna, bahkan tersamar di balik idealisme semu kata "netral" yang diagung-agungkan.
Memang betul bahwa Netralitas dalam definisi aslinya, adalah posisi tidak berpihak dalam sebuah konflik, seringkali diyakini sebagai sikap yang bijak, objektif, dan adil. Namun, dalam konteks warisan Sumpah Pemuda yang secara gamblang merupakan sikap non-netral terhadap penjajahan dan penindasan, dihadapkan pada penggunaan kata "netral" hari ini, maka sebuah refleksi kritis dan mendalam menjadi sangat diperlukan.
Sejatinya Pemuda Indonesia adalah pewaris sah dari semangat "Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa," yang digaungkan puluhan tahun lalu. Pemuda hari mengemban sebuah tanggung jawab moral dan historis atas fragmen sejarah ini, menuntut pemuda untuk tidak netral terhadap isu-isu fundamental yang mengancam integritas dan kemajuan bangsa.
Saat virus korupsi menggerogoti sumber daya publik, ketika ketidakadilan sosial meluas, dan kerusakan lingkungan mencapai titik kritis, serta pilar-pilar demokrasi mulai retak, bersikap netral sama saja dengan tindakan pembiaran atau mungkin juga “Pengkhiatan” terhadap cita-cita luhur atas nama Pemuda ini.
Sebab, ketika kebenaran diinjak-injak, netralitas pasif berarti membiarkan ketidakbenaran berkuasa; saat hak-hak dasar rakyat dirampas, netralitas adalah bentuk pengkhianatan pasif yang mengingkari janji-janji luhur kemerdekaan.
Fenomena "berlindung dibalik kata ideal 'netral'" seringkali hanyalah eufemisme yang menipu, menyamarkan akar masalah sesungguhnya yaitu ketakutan untuk mengambil risiko, kecemasan untuk kehilangan zona nyaman atau privilege di tangan, atau bahkan kemalasan intelektual untuk menganalisis situasi secara mendalam dan mengambil keberpihakan yang bertanggung jawab.
Dengan demikian, netralitas dalam konteks ini bertransformasi menjadi kelumpuhan aksi, sebuah sikap yang sesungguhnya berlawanan dengan jiwa revolusioner Sumpah Pemuda yang sarat keberanian dan keberpihakan progresif.
Lebih mendalam lagi, pemuda hari ini berada di garis depan sebuah pertarungan ideologi untuk mendefinisikan ulang wajah Indonesia: konflik antara Ideologi Religius Kebangsaan (oleh ormas Islam moderat) melawan Ideologi Islam Fundamentalis.
Ideologi Religius Kebangsaan menerima Pancasila dan NKRI sebagai mitsaqan ghalizhan (perjanjian luhur) dan memandang Islam sebagai sumber nilai yang memperkuat nasionalisme, bukan menggantikannya. Sebaliknya, Ideologi Radikal Fundamentalis, seringkali disusupi oleh paham transnasional yang secara radikal menolak konsep negara-bangsa modern, memimpikan khilafah, dan menggunakan isu-isu keagamaan untuk memecah-belah persatuan, bahkan tak segan melakukan tindak kekerasan.
Dalam pertarungan ide-ide fundamental ini, pemuda tidak memiliki pilihan untuk bersikap netral, karena itu berati penyerahan diri secara implisit kepada kelompok berbahaya ini. Membiarkan narasi yang merongrong Pancasila tanpa perlawanan aktif adalah bentuk pengkhianatan terhadap butir ketiga Sumpah Pemuda: janji untuk menjaga tanah air Indonesia.
Konteks pertarungan narasi semakin jelas ketika muncul peristiwa yang menyerang simbol-simbol kearifan lokal keagamaan secara naratif, sebutlah Pondok Pesantren Lirboyo.
Sebuah tayangan media massa nasional menampilkan narasi yang tendensius, merendahkan, dan menyerang nilai luhur pesantren sebagai benteng tradisi keilmuan Islam Nusantara dan pilar penting dari Ideologi Religius Kebangsaan.
Ini bukan hanya masalah etika jurnalistik semata, tetapi juga merupakan perpanjangan dari upaya delegitimasi.
Pesantren, seperti Lirboyo, adalah kawah candradimuka yang melahirkan ulama dan pejuang, tempat di mana Islam Rahmah dan Cinta Tanah Air ditanamkan.
Oleh karena itu, narasi negatif yang menyerang pesantren , esensinya adalah serangan tidak langsung terhadap fondasi Islam Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah dan nilai-nilai kebangsaan yang selama ini dijunjung tinggi oleh insan yang menghargai perjuangan dan cita-cita sumpah pemuda.
Maka refleksi Sumpah Pemuda harus menjadi momentum untuk mendorong pemuda, agar mampu membedakan secara tegas antara Netralitas Objektif, yaitu posisi menunggu yang wajar dan perlu, dengan Netralitas Ideologis Pasif. Sikap yang kedua ini berbahaya, apalagi di tengah ancaman ganda: baik dari Ideologi Radikal maupun dari narasi-narasi media yang diskreditatif terhadap institusi penjaga moral bangsa.
Sumpah Pemuda sejatinya menginspirasi pemuda untuk memiliki Keberpihakan yang Bertanggung Jawab: berpihak pada keadilan, berpihak pada Pancasila, dan berpihak pada martabat pesantren sebagai tiang penyangga Islam Rahmatan Lil 'Alamin.
Pemuda harus berani mengambil posisi untuk perubahan positif, berani melawan segala bentuk penyelewengan dan ancaman ideologis, termasuk narasi media yang destruktif.
Sebab hakikatnya, tidak pernah ditemui kemajuan signifikan yang lahir dari sikap yang benar-benar netral terhadap masa depan dan nasib bangsa sendiri. Pemuda harus mepelopori perubahan konstruktif, dan membentengi cita-cita luhur bangsanya, sebagaimana para pendahulu, lantang mengikrarkan persatuan di tengah kebisingan perpecahan.
Pemuda tak seharusnya “netral” dalam makna ini. Ingat “Netral” itu, tak selamanya ideal sahabat.!
Penulis : Amiruddin