Cari

Tarif Impor AS ke RI Turun Jadi 19 Persen, Ekonom: Kebijakan Ini Pedang Bermata Dua

Penurunan tarif bea masuk Amerika Serikat (AS) terhadap produk ekspor Indonesia membuka peluang baru bagi perdagangan kedua negara RI dan AS, sekaligus potensi risiko yang patut diwaspadai.

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengingatkan bahwa meskipun tarif produk ekspor Indonesia ke AS kini diturunkan menjadi 19 persen, kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua.

“Tarif 19 persen untuk produk kita mungkin terdengar positif, tapi di saat yang sama, AS mendapat fasilitas tarif nol persen untuk masuk ke pasar Indonesia. Ini bisa menjadi risiko besar bagi sejumlah sektor,” ungkap Bhima seperti dikutip dari Antara, Kamis (17/7/2025).

Ia kemudian mencontohkan, salah satu sektor yang paling rentan terkena imbas dari kesepakatan ini adalah pangan, khususnya gandum. Dengan dikenakannya tarif nol persen, produk gandum asal AS akan lebih mudah masuk ke Indonesia.

“Dari sisi konsumen memang mungkin menyenangkan. Harga mie instan dan roti bisa lebih murah. Tapi jangan lupa, dampaknya ke petani dan industri pangan lokal bisa cukup parah,” ujar ekonom Bhima.

Bhima membeberkan catatannya, selama tahun 2024, nilai impor Indonesia dari AS untuk lima komoditas utama migas, produk farmasi, serealia dan gandum, suku cadang pesawat, serta produk elektronik, telah mencapai 5,37 miliar dollar AS atau sekitar Rp 87,3 triliun.

“Kita harus waspada terhadap potensi lonjakan impor dari AS. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa berpengaruh negatif terhadap surplus neraca perdagangan Indonesia,” tegasnya.

Kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat ini diumumkan langsung oleh Presiden AS Donald Trump pada Selasa (15/7/2025). Melalui unggahan di platform Truth Social, Trump menyebutnya sebagai “kesepakatan luar biasa untuk semua pihak”.

Saya bernegosiasi langsung dengan presiden mereka yang sangat dihormati,” tulis Trump, merujuk pada Presiden RI Prabowo Subianto. Trump juga menyampaikan bahwa tarif produk Indonesia yang masuk ke AS kini dipangkas dari sebelumnya 32 persen menjadi 19 persen.

Sebagai gantinya, AS mendapat jaminan pembebasan penuh dari hambatan tarif maupun non-tarif ketika mengekspor produknya ke Indonesia.

Tak sampai disitu, Indonesia juga telah menyetujui pembelian energi dari AS senilai 15 miliar dollar AS (setara Rp 244 triliun), serta produk agrikultur sebesar 4,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 73 triliun).

Namun, dalam perjanjian juga ditegaskan bahwa jika Indonesia mengekspor produk dari negara ketiga yang tarifnya lebih tinggi ke pasar AS, maka tarif 19 persen tetap diberlakukan.

Ekonom Bhima menilai bahwa penurunan tarif yang didapat Indonesia masih belum cukup kompetitif dibandingkan negara tetangga.

“Vietnam saja bisa menurunkan tarif dari 46 persen ke 20 persen. Sementara Indonesia hanya dari 32 ke 19 persen. Seharusnya kita bisa negosiasi lebih agresif agar tarif lebih rendah lagi,” ungkapnya.

Mengingat potensi terbukanya keran impor yang lebih besar, Bhima menyarankan agar pemerintah segera mengambil langkah antisipatif. Ia menekankan pentingnya memperkuat sektor-sektor strategis dalam negeri, termasuk pangan dan industri manufaktur, guna menghindari ketergantungan berlebihan terhadap produk impor.

“Pasar terbuka itu baik, tapi tanpa proteksi dan penguatan domestik, bisa jadi bumerang.” Tutup Bhima dilansir melalui keterangan media kompas.com.

Terkait: