Cari

KHUTBAH JUM'AT: MENYIKAPI KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

oleh : H. Muhammad Aslam (Kepala Seksi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kota Palopo)

Hadirin jamaah Jum'at yang berbahagia,

Saat ini kita hidup di era di mana kemajuan teknologi dan informasi berkembang dengan kecepatan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Jika kita melihat sejarah, jarak antara satu penemuan besar dengan penemuan besar lainnya membutuhkan rentang waktu yang sangat lama. Misalnya, Sebagai contoh, dari penemuan listrik oleh Benjamin Franklin pada 1752 hingga telepon oleh Alexander Graham Bell pada 1876, dibutuhkan waktu sekitar 120 tahun. Namun, saat ini, penemuan dan inovasi teknologi seolah terjadi setiap detik, setiap menit. Perkembangan internet, telepon pintar, media sosial, dan kecerdasan buatan (AI) merubah cara kita hidup, berkomunikasi, dan mendapatkan informasi secara drastis dalam hitungan tahun, bahkan bulan.

Salah satu dampak paling signifikan dari kemajuan teknologi informasi ini adalah kemudahan akses terhadap informasi. Dahulu, untuk mengetahui berita terkini, kita harus menunggu koran terbit esok hari, atau menonton siaran berita pada jam-jam tertentu. Namun kini, peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain lima menit yang lalu bisa langsung kita ketahui melalui portal berita online, unggahan di media sosial seperti Facebook, Instagram, X (dulu Twitter), TikTok, atau bahkan melalui status dan cerita di WhatsApp. Setiap orang bukan hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen informasi. Dengan mudahnya jari-jemari kita bisa menyebarkan berita, foto, bahkan video.

Namun, kemudahan ini seperti pedang bermata dua. Di samping dampak positifnya seperti kemudahan belajar, berdakwah, berbisnis, dan bersilaturahmi, ada pula dampak negatif yang tidak kalah berbahayanya. Kemudahan akses informasi ini ibarat banjir yang membawa bukan hanya air jernih tetapi juga sampah informasi, termasuk informasi yang tidak benar, hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian.

Mirisnya, kemudahan ini dimanfaatkan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka sengaja menciptakan dan menyebarkan informasi palsu untuk berbagai tujuan buruk: menimbulkan kegaduhan, memecah belah umat, menjatuhkan lawan politik atau bisnis, merusak reputasi seseorang, bahkan sekadar mencari keuntungan finansial. Kita mengenal fenomena ini dengan istilah hoaks, berita bohong, atau bahkan adanya buzzer yaitu akun-akun atau orang-orang yang secara terstruktur menyebarkan informasi tertentu, seringkali tanpa memastikan kebenarannya, demi kepentingan tertentu.

Hadirin jamaah Jum'at yang berbahagia,

Menghadapi realitas ini, bagaimana seharusnya kita sebagai umat Islam bersikap? Islam, sebagai agama yang sempurna dan relevan di setiap zaman, telah memberikan petunjuk yang sangat jelas. Salah satu prinsip mendasar dalam menerima informasi adalah prinsip tabayyun. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Hujurat ayat 6:

Yā ayyuhal-lażīna āmanū in jā'akum fāsiqum binaba'in fa tabayyanū an tuībū qaumam bijahālatin fa tubiū ‘alā mā fa‘altum nādimīn(a).

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)  

Ayat yang mulia ini memberikan perintah yang sangat tegas kepada kita, orang-orang yang beriman. Jika ada informasi yang datang dari sumber yang fasik (tercela, tidak terpercaya, atau belum jelas kejujurannya), maka tugas kita bukan langsung mempercayai atau menyebarkannya, melainkan fata bayyanu periksalah dengan teliti, carilah kebenarannya, lakukan kroscek, verifikasi!

Sikap tabayyun ini di era kemudahan akses informasi dan maraknya hoaks adalah sebuah keniscayaan, bahkan kewajiban syar'i yang mutlak harus dimiliki oleh setiap muslim. Berapa banyak di antara kita yang dengan mudahnya ikut menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya, terutama informasi yang seolah cocok dengan pandangan atau kepentingan kita, padahal itu adalah kebohongan besar? Terutama dalam isu-isu sensitif, seperti politik atau perbedaan pendapat. Jika ada tokoh atau kelompok yang tidak kita sukai, dan kita mendapatkan berita negatif tentang mereka, seringkali naluri kita adalah langsung mempercayai dan menyebarkannya tanpa tabayyun.

Padahal, Allah sudah mengingatkan akibat dari tidak tabayyun: "...agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." Menyebarkan informasi bohong atau fitnah dapat menimbulkan kerugian besar, merusak tatanan sosial, menyebabkan konflik, dan pada akhirnya, kita akan menyesal di kemudian hari baik di dunia maupun di akhirat.  

Prinsip tabayyun adalah benteng pertama umat Islam dari serangan hoaks dan fitnah di era digital ini. Kita harus kritis terhadap informasi yang datang, menahan diri untuk tidak langsung menyebar, dan berusaha mencari sumber yang terpercaya.

 

 

Jamaah Jum'at rahimakumullah,

Penting bagi kita untuk memahami betapa berbahayanya dampak dari penyebaran informasi yang tidak benar, termasuk fitnah. Dalam Islam, fitnah memiliki derajat keburukan yang sangat tinggi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surat Albaqarah 217:

wal-fitnatu akbaru minal-qatl(i)

Artinya: "...dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan..."

Ayat ini menegaskan betapa dahsyatnya dampak fitnah. Mengapa lebih besar dosanya dari pembunuhan? Karena fitnah dalam konteks ini bisa bermakna kekacauan, huru-hara, perpecahan, atau tuduhan palsu yang menghancurkan dapat merusak tatanan masyarakat secara luas, menghancurkan kehormatan seseorang, memutus silaturahmi, bahkan menimbulkan pertumpahan darah yang lebih masif daripada pembunuhan satu individu. Di era digital, satu hoaks atau fitnah bisa menyebar dalam hitungan detik ke jutaan orang, dampaknya bisa sangat merusak dan menimbulkan kekacauan yang luas.

Berapa banyak orang yang karirnya hancur karena fitnah di tempat kerja? Berapa banyak rumah tangga yang retak karena pasangan terkena fitnah atau termakan hoaks tentang pasangannya? Berapa banyak hubungan persahabatan yang rusak karena adu domba melalui informasi palsu? Betapa banyak orang yang terzalimi, mentalnya hancur karena karakter buruk dibuat-buat tentang dirinya di media sosial. Inilah dahsyatnya fitnah di era digital, ia mampu membunuh karakter dan kehidupan sosial seseorang secara perlahan namun pasti.

Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada kita untuk menjaga lisan, dan di era digital ini, menjaga jari atau keyboard kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Man kāna yu’minu billāhi wa-l-yawmi al-ākhiri fa-yaqul khairan aw li-yasmuth

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)  

Hadits ini adalah prinsip emas. Sebelum kita mengetik, sebelum kita membagikan (share) sebuah informasi, tanyakan pada diri kita: apakah ini kebaikan? Apakah ini benar? Jika tidak, maka diamlah. Jangan ikut menyebarkan. Menyebarkan keburukan, kebohongan, dan fitnah bukanlah perbuatan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

 

Hadirin jamaah Jum'at yang berbahagia,

Pernahkah kita mendengar tentang orang yang bangkrut di akhirat? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat: “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya harta benda.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Innal muflisīn min ummatī ya’ī yawmal-qiyāmati bihalātin wa siyāmin wa zakāh; wa ya’ī qādimun shatama hadzā, wa qadhafa hadzā, wa akala mālahu hadzā, wa safaka damāhu hadzā, wa araba damāhu hadzā. Fayuqa hadzā min asanātihim, wa hadzā min khaāyāhim, fa in fanniyat asanātuhu qabla an yuqā mā ‘alayhi ukhidḥa  min khaāyāhim fa turihat ‘alayhi tsumma turihat fī n-nār.

Artinya: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, (dia juga) datang dengan membawa dosa mencaci maki si ini, menuduh (berzina) si ini, memakan harta si ini, menumpahkan darah si ini, serta memukul si ini. Maka, kebaikan-kebaikannya diberikan kepada si ini (orang yang dizalimi), si ini, dan si ini. Apabila kebaikan-kebaikannya habis sebelum lunas semua kezalimannya, diambillah keburukan-keburukan mereka (orang yang dizalimi) lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Menyebarkan fitnah dan kebohongan tentang orang lain termasuk dalam kategori menzalimi orang lain dengan lisan. Setiap kali kita menyebar hoaks yang merusak reputasi seseorang, setiap kali kita memfitnah, pahala ibadah kita terancam diambil di akhirat kelak untuk diberikan kepada orang yang kita zalimi. Sungguh bangkrutlah kita jika pahala shalat, puasa, dan zakat kita habis hanya karena jempol dan lisan kita tidak terjaga di dunia maya.

Bahkan, dalam gambaran yang paling menjijikkan, Islam mengumpamakan orang yang gemar menggunjing (ghibah), yang seringkali beriringan dengan penyebaran fitnah, seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Allah berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat 12:

...wa lā yagtab ba‘ukum ba‘ā(n), ayuibbu aadukum ay ya'kula lama akhīhi maitan fa karihtumūh(u),...

Artinya: "...Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya..." (QS. Al-Hujurat: 12, potongan ayat)

Konotasi ini sangat kuat. Islam memandang perbuatan menyebar keburukan atau kebohongan tentang orang lain sebagai sesuatu yang sangat keji, menjijikkan, bahkan diumpamakan seperti memakan bangkai manusia.

 

 

Jamaah Jum'at yang berbahagia,

Teknologi informasi adalah alat. Ia bisa menjadi pintu kebaikan dan ilmu, atau menjadi jurang kebinasaan dan dosa. Pilihan ada di tangan kita. Mari kita gunakan teknologi ini untuk kebaikan, untuk berdakwah, berbagi ilmu, bersilaturahmi, dan berbisnis secara halal.

Dan mari kita bentengi diri kita dan keluarga kita dari bahaya hoaks dan fitnah digital dengan:

1. Senantiasa mengamalkan prinsip tabayyun (verifikasi) sebelum menerima atau menyebarkan informasi apapun.
2. Menahan diri untuk tidak berkomentar atau menyebar informasi yang belum jelas kebenarannya.
3. Mengingat selalu bahwa setiap kata dan setiap ketikan jari kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
4. Berpegang pada prinsip berkata baik atau diam.
5. Menyadari bahwa menyebar fitnah atau hoaks bisa membuat kita bangkrut di akhirat dan termasuk perbuatan keji.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa membimbing kita untuk menggunakan setiap nikmat-Nya, termasuk teknologi informasi, di jalan yang diridhai-Nya, melindungi kita dari bahaya fitnah dan hoaks, serta menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang cerdas dan bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarkan informasi.

Terkait: