Makassar, 26 Maret 2025 — DPRD Kota Makassar bersama pemangku kepentingan terkait kembali menggelar sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Kegiatan ini dilaksanakan di Grand Town Hotel Makassar sebagai bentuk komitmen untuk menciptakan lingkungan kota yang inklusif, adil, dan bebas dari diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
Anggota DPRD Kota Makassar, Zulhajar, S.IP, M.A, sebagai legislator yang hadir dalam kegiatan ini, menegaskan bahwa Perda tersebut bukan hanya sekadar aturan administratif, melainkan cerminan keberpihakan terhadap warga penyandang disabilitas. “Kita ingin Kota Makassar menjadi kota yang ramah dan setara bagi semua warga, termasuk penyandang disabilitas. Perda ini hadir bukan hanya sebagai aturan, tetapi sebagai komitmen untuk menjamin partisipasi dan perlindungan terhadap hak-hak mereka,” ujar Zulhajar. Ia menambahkan, DPRD Makassar akan terus mengawal implementasi perda tersebut agar benar-benar diterapkan secara menyeluruh di semua sektor pelayanan publik dan pembangunan kota. Menurutnya, kota yang beradab adalah kota yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang.
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas mencakup berbagai aspek fundamental yang menjamin kesetaraan bagi warga penyandang disabilitas di Kota Makassar. Regulasi ini mengatur hak-hak dasar seperti akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan kerja, fasilitas publik yang inklusif, serta perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas perempuan dan anak. Melalui perda ini, Pemerintah Kota Makassar memiliki kewajiban untuk menyediakan infrastruktur dan layanan yang ramah disabilitas, sekaligus mendorong partisipasi aktif kelompok ini dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Dr. Ishak Salim, S.IP, M.A, seorang akademisi dan aktivis inklusi sosial, memberikan pandangan kritis terkait implementasi regulasi tersebut. Ia menekankan bahwa perda ini tidak boleh berhenti pada tataran normatif, tetapi harus ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan konkret di lapangan. “Perda ini adalah payung hukum yang sangat penting, tetapi tantangannya adalah pada penerapan. Pemerintah harus tegas memastikan semua instansi publik dan swasta memenuhi standar aksesibilitas dan non-diskriminasi,” jelas Ishak. Ia juga menggarisbawahi pentingnya peran pengawasan agar isi perda tidak sekadar menjadi dokumen hukum, tetapi sungguh-sungguh mencerminkan keberpihakan kepada kelompok rentan dalam tindakan nyata.
Selanjutnya, Himar, S.IP, menyoroti dimensi kultural dari isu disabilitas. Ia menyatakan bahwa keberhasilan perda sangat bergantung pada perubahan paradigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas. “Kita masih sering melihat penyandang disabilitas sebagai objek belas kasihan, padahal mereka adalah subjek pembangunan. Kesetaraan dimulai dari cara kita memperlakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari,” tegas Himar. Menurutnya, selain pemerintah, masyarakat luas juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif—dimulai dari sikap, bahasa, hingga perlakuan di lingkungan sosial.
Dari sudut pandang pemberdayaan ekonomi, Abdul Hafid menekankan bahwa pelatihan keterampilan dan akses terhadap modal usaha menjadi fondasi penting dalam menciptakan kemandirian penyandang disabilitas. Ia menilai bahwa banyak penyandang disabilitas memiliki potensi besar, tetapi selama ini terbentur oleh kurangnya dukungan konkret. “Pemberdayaan ekonomi bukan hanya soal bantuan, tetapi menciptakan akses dan kesempatan yang nyata. Pemerintah harus hadir memberikan pelatihan yang tepat guna serta membuka akses pasar bagi produk dan jasa yang mereka hasilkan,” ungkap Hafid. Ia juga menyarankan agar pemerintah melibatkan sektor swasta dan koperasi dalam menciptakan ekosistem wirausaha yang inklusif, yang tidak hanya menghidupi tetapi juga memberdayakan penyandang disabilitas secara berkelanjutan.
Sosialisasi ini sekaligus menjadi sarana edukasi kepada masyarakat bahwa keberpihakan kepada penyandang disabilitas bukan hanya bentuk tanggung jawab moral, tetapi juga bagian dari pembangunan berkelanjutan yang adil dan setara.