Cari

Demo vs Anarkisme: Antara Suara Rakyat dan Aksi yang Membakar Harapan

Palopo – Gelombang aksi demonstrasi yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia dalam dua pekan terakhir menjadi sorotan publik. Akar masalahnya tak jauh dari keputusan kontroversial DPR RI terkait kenaikan gaji anggota dewan yang disebut-sebut mencapai Rp3 juta per hari. Ironisnya, kebijakan ini muncul di saat masyarakat menghadapi kenaikan pajak yang signifikan.

Aksi spontan mahasiswa dan masyarakat pun tak terelakkan. Di Kabupaten Pati, kenaikan pajak daerah hingga 300% menjadi pemicu kemarahan publik, terlebih setelah pernyataan Bupati yang dinilai arogan dan menantang massa.

Situasi semakin memanas saat gelombang protes menyebar ke daerah lain seperti Bone dan Makassar, yang berujung pada pembakaran gedung DPRD dan jatuhnya korban jiwa. Tercatat tiga orang luka-luka, dan satu meninggal dunia Syaiful Akbar, warga Palopo, akibat terjebak dalam kobaran api di gedung DPRD.

Di tengah situasi ini, mantan aktivis kampus dan tokoh gerakan mahasiswa era 2000-an, Achmad Badawi (akrab disapa Kak Awi), angkat suara. Ia menyatakan bahwa menyuarakan hak-hak demokrasi adalah keniscayaan, namun harus tetap dalam batas konstitusional. Menurutnya, masyarakat berhak marah, tapi anarkisme bukanlah jalan keluar.

“Kita jangan sampai mengorbankan hal-hal besar hanya demi perubahan kecil. Kenaikan pajak memang perlu, tapi harus disosialisasikan dengan matang, dengan melibatkan masyarakat, kampus, dan stakeholder lain. Jangan langsung gas full naik 300%, lalu heran saat masyarakat menolak,” ujarnya.

Kak Awi menambahkan, kepercayaan publik terhadap pajak akan tumbuh bila ada transparansi dan edukasi. Ia menekankan perlunya peran aktif pegawai pajak turun ke masyarakat, menjelaskan bahwa pajak adalah investasi bersama, bukan sekadar kewajiban yang dipaksakan.

Terkait aksi demonstrasi yang berubah menjadi anarkis, ia mengingatkan bahwa tugas utama jenderal lapangan adalah mengendalikan massa, bukan sekadar memanaskan semangat.

“Demonstrasi adalah wadah menyampaikan tuntutan, tapi kalau berubah menjadi pembakaran atau perusakan, itu bukan lagi perjuangan rakyat, tapi kekacauan. Apalagi jika yang dirusak adalah fasilitas publik yang dibangun dari pajak kita sendiri itu justru kontra-produktif,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan aparat untuk tidak bertindak represif. Massa aksi, menurutnya, harus dihadapi dengan pendekatan dialog, bukan ancaman atau kekerasan.

Sebagai penutup, Kak Awi mengajak semua pihak, khususnya di wilayah Luwu Raya, untuk menjaga nilai-nilai budaya lokal.

L“Budaya Sipakatau, Sipakainge', dan Sipakalebbi' harus kita jaga. Bumi Batara Guru, tanah Sawerigading, dan jejak perjuangan Andi Jemma harus jadi pengingat: kita bisa bersuara lantang tanpa menjadi anarkis,” pungkasnya.

Terkait: