Cari

Masa Depan Pasar Makassar: Saatnya Berubah dan Mendengar

MAKASSAR — Sebuah pertemuan yang tampak sederhana namun sejatinya menyimpan potensi besar dalam peta politik lokal digelar di Kota Makassar. Jumat, 11 Juli 2025

Zulhajar, S.Ip., M.A, salah satu anggota DPRD Kota Makassar yang dikenal aktif dan dekat dengan konstituen, menginisiasi sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) tentang pasar.

Ia mempertemukan pelaku pasar, otoritas Perumda Pasar Raya, dan publik dalam ruang diskusi yang tidak hanya menyentuh regulasi, tetapi juga denyut kehidupan ekonomi rakyat.

Ini bukan sekadar agenda seremonial; ini adalah panggung elektoral yang menunjukkan siapa yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil.

Dalam forum tersebut, PLT Direktur Perumda Pasar Raya, Ali Gauli Arif, S.Sos menyampaikan arah kebijakan transformasi pasar. Fokus pada menciptakan pasar yang nyaman dan aman menjadi jawaban atas keluhan klasik warga soal pasar yang kumuh, tak tertata, dan rawan kriminalitas.

Isu ini bukan teknis semata, tapi beresonansi langsung dengan persepsi publik terhadap kehadiran negara. Saat pengunjung merasa aman dan penjual merasa terlindungi, kepercayaan masyarakat pada pemerintah daerah pun tumbuh.

Lebih jauh, wacana digitalisasi transaksi non-tunai menjadi indikator kesiapan pemerintah menjemput era ekonomi digital. Namun, langkah ini baru akan efektif secara elektoral jika disertai edukasi dan pendampingan langsung kepada pedagang kecil—basis pemilih tradisional yang kerap terabaikan dalam desain kebijakan canggih.

Muh. Randi Akbar, S.Ip, M.Si, salah satu tokoh Akademisi muda yang vokal menyoroti kelemahan struktural dalam regulasi yang ada. Perda No. 15 dinilainya sudah “kadaluarsa” dan tidak lagi menjawab tantangan pasar modern.

Dalam konteks politik elektoral, dorongan pembaharuan ini mencerminkan sensitivitas terhadap realitas sosial dan keberanian melakukan reformasi hukum. Siapa pun yang berani menyuarakan pembaruan—terutama untuk sektor vital seperti pasar—akan dicatat oleh pemilih sebagai wakil rakyat yang progresif dan tidak status quo.

Dalam suhu politik yang makin kompetitif, keberanian menyentuh akar permasalahan menjadi nilai tambah elektoral yang tak bisa dibeli dengan baliho atau slogan kosong.
Bang Enal, dengan nada yang lebih mendalam, menyoroti dimensi partisipatif. Ia menegaskan bahwa aspirasi pelaku pasar harus menjadi titik tolak dalam setiap kebijakan.

Ucapan ini memiliki bobot elektoral yang besar. Sebab, publik kini bukan sekadar ingin didengar, tetapi ikut menentukan. Pemerintah yang membuka ruang dialog akan lebih dipercaya ketimbang yang hanya turun ke pasar saat kampanye.

Dalam tahun-tahun politik, pendekatan ini bisa menjadi pembeda antara pemimpin yang hanya populis dengan yang benar-benar partisipatif. Pasar adalah basis suara yang solid—dan siapa pun yang mengayominya dengan cara mendengar, akan menuai dukungan yang tulus.

Namun, forum ini juga menguak isu sensitif yang bisa menjadi bom waktu jika tak segera dicarikan solusinya. Bang Toto mengangkat persoalan penolakan terhadap penjual daging babi di Pasar Sumarecon. Di kota sebesar Makassar, yang multikultur dan plural, isu seperti ini adalah ujian sesungguhnya bagi kematangan demokrasi lokal.

Ketika Direktur Perumda Pasar Raya menjawab bahwa belum ada regulasi khusus, publik sebenarnya tak sekadar mendengar jawaban administratif, tapi membaca sinyal politik: apakah pemerintah berani membuat aturan yang adil untuk semua kelompok, tanpa tunduk pada tekanan mayoritas?

Di titik inilah, kekosongan regulasi bisa menjadi krisis kepercayaan. Ketidakjelasan sering menimbulkan diskriminasi terselubung, dan jika tidak ditangani, bisa menjadi bahan kampanye negatif yang melemahkan citra pemerintah.

Di sisi lain, jika pemimpin seperti Zulhajar bisa mendorong lahirnya regulasi inklusif, ini bisa menjadi legacy politik—jejak kebijakan yang memperkuat posisinya sebagai legislator progresif yang membela nilai keadilan sosial dan toleransi. 

Sosialisasi ini, yang mungkin terlihat remeh di mata publik yang sibuk, sebenarnya adalah cermin politik mikro yang mencerminkan arah masa depan Makassar. Cermin yang memperlihatkan bahwa pasar bukan hanya tempat jual beli, tapi arena ekonomi, budaya, dan politik rakyat. Dan bahwa pembenahan pasar harus dilakukan dengan pendekatan keadilan sosial, keterbukaan, pembaruan hukum, dan keberanian menyentuh hal-hal sensitif dengan cara yang bijaksana.

Kini bola ada di tangan legislatif dan eksekutif kota. Apakah mereka benar-benar akan mengangkat suara pasar sebagai prioritas legislasi dan eksekusi kebijakan? Ataukah mereka akan melanjutkan tradisi lama: menggelar forum, mencatat notulensi, lalu membiarkannya jadi dokumen yang terlupakan?

Satu hal yang pasti: pasar yang modern, adil, dan inklusif tak bisa dibangun dengan regulasi usang dan telinga yang tertutup. Pemimpin yang berani merombak hal itu akan lebih dari sekadar anggota dewan—ia akan jadi harapan rakyat.

Terkait: